Jumat, 21 November 2014

tradisi



PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tradisi merupakan suatu gambaran sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan secara turun-temurun dimulai dari nenek moyang.Tradisi yang telah membudaya akan menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti seseorang. Kebudayaan merupakan elemen yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusiaterutamadalammasyarakatjawa. Di satu sisi, manusia pencipta budaya, namun di sisi lain, manusia merupakan produk dari budaya tempat dia hidup. Hubungan saling pengaruh ini merupakan salah satu bukti bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa budaya, betapapun primitifnya. Kehidupan berbudaya merupakan ciri khas manusia dan akan terus hidup melintasi alur zaman. Sebagai warisan nenek moyang, kebudayaan membentuk kebiasaan hidup sehari-hari yang diwariskan turun-temurun. Ia tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia dan hampir selalu mengalami proses regenerasi kembali.
Di Indonesia ada baragam kebudayaan, salah satunya adalah upacara nyadran. Nyadran menjadi rutinitas sebagian besar masyarakat Jawa setiap tahun pada bulan dan hari yang telah ditentukan. Upacara ini merupakan penghormatan kepada leluhur dan bisa juga menjadi bentuk syukuran massal.
B. Rumusan  Masalah
1.      Bagaimana sejarah nyadran?
2.      Mengapa tradisi rakyat yang telah dipraktikkan sejak dulu kala itu menimbulkan kontroversi?
3.      Bagaimana sejarah nyadran makam?
C. Tujuan
1.      Mengetahui apa itu nyadran dan sejauh mana masyarakat menghayati nilai yang terkandung   dari suatu tradisi kebudayaan nenek moyang.
2.      Mengetahui bagaimana pandangan dari dua kalangan keagamaan (Muhammadiyah dan NU) di Desa Cepogo dalam menyikapi pesta nyadran.
3.      Mengetaui sejarah nyadran makam.



BAB II
POKOK PEMBAHASAN

A. Sejarah Nyadran

Menurut sejarah, 'nyadran' adalah sebuah kata berasal dari bahasa Sanskerta “sraddha” yang juga bisa diartikan sebagai keyakinan, percaya atau kepercayaan. MasyarakatJawa kuno meyakini bahwa leluhur yang sudah meninggal, sejatinya masih ada dan memengaruhi kehidupan anak cucu atau keturunannya. Oleh karena itu, mereka sangat memperhatikan saat atau waktu, hari dan tanggal meninggalnya leluhur. Pada waktu-waktu (saat) itu, mereka yang masih hidup diharuskan membuat sesaji berupa kue, minuman, atau kesukaan yang meninggal. Selanjutnya, sesaji itu ditaruh di meja, ditata rapi, diberi bunga setaman, dan diberi penerangan berupa lampu (Budi Puspo Priyadi, 1989).
Lantas kapan sebenarnya tradisi nyadranbagi orang Jawa itu dilakukan? Hampir tak ada yang tahu persis. Namun dalam ajaran Islam, bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan merupakan bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia.Maka, di sejumlah tempat diadakan sadranan yang maknanya adalah melaporkan segala daya dan upaya yang telah dilakukan selama setahun, untuk nantinya manusia berintrospeksi. Dalam masyarakat jawa, tradisi atau ritual nyadran sendiri sudah ada pada masa Hindu-Buda, jauh sebelum agama Islam masuk.
Saat itu, nyadran dimaknai sebagai sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad ke-13, ritual semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat laun terakulturasi dengan nilai-nilai Islam.
Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya budaya nyadran. Oleh karena itu, nyadran bisa jadi merupakan “modifikasi’ para wali ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa.
Langkah itu ditempuh para wali, karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap orang Jawa, agar mau mengenali dan masuk Islam. Nyadranpun menjadi media siar agama Islam. Selain ritual nyadran, salah satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa dalam islam berupa penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan.Batu nisan tersebut sebagai penanda keberadaan si jenazah, agar kelak anak-cucunya dan segenap keturunannya bisa mendatangi untuk ziarah, mendoakan sang arwah, sewaktu-waktu. Bagi sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa, mudik terdiri atas dua arus. Arus besar pertama terjadi dalam rangka menyongsong lebaran, atau Idul Fitri.
Sedangkan arus kedua terjadi pada saat ruwahan menjelang bulan puasa. Namun para perantau kerap memposisikan nyadran lebih tinggi dibanding Hari Raya idul Fitri. Setidaknya, paraperantau akan lebih memilih mudik pada saat ruwahan, dibanding pada lebaran.

B. Upacara Nyadran

Dalam tradisi nyadran kuburataumakam yang dilakukandi daerah cepogo sekitar 7hari. sebelum acara terakhir daerah cepogo pada tiap rumah mereka menyediakan makanan yang sangat banyak untuk menjamu tamu yang datang dari berbagai daerah yang jumlahnya tidak sedikit sampai beribu-ribu, dan masyarakat cepogo mempunyai pandangan bila semakin banyak orang yang datang kerumahnya mereka semakin senang, masyarakat berkeyakinan atau mempunyai keyakinan semakin banyak tamu yang datang rezki mereka tahun yang akan datang akan ditambah banyak, bahkan masyarakat cepogo menabung dan rela pulang dari prantauan hanya untuk acara setahunan yang sering disebut nyadran, dan puncaknya pada hari ketujuseluhuruh masyarakat jawa atau cepogo mereka datang berbondong-bondong kemakam dengan membawa makanan, makanan tersebut isinya yaitu antara lain nasi tumpeng, apem, ketan, sayuran dll. Yang di letakkan pada tempat atau besek. masyarakat sekitar menyebutnya dengan nama kenduren. Setelah masyarakat sudah datang semua dengan membawa makanan dilanjutkan acara mendoakan paraleluhur mereka yang sudah meninggal, karena masyarakat jawa yang menganut agama islam mereka berpandangan bahwa bulan sya’ban adalah bulan dimana semua amalan baik yang terpuji maupun yang tercela semua dilaporkan kepada yang kuasa, oleh karena itu ahli waris yang masih hidup mereka mendoakan atau memintakan ampunan kepada leluhur – leluhurnya yang sesudah meninggal agar di ampuni dosa-dosa nya dan terhindar dari siksa kubur dan api neraka, dalam acara mendoakan yang di baca adalah dikir tahlil, setelah dikir tahlil dilanjutkan membaca surat yasin bersama-sama sampai selesai kemudian berdoa yang dipimpin oleh moden. Setelah acara mendoakan atau memintakan ampunan padaahli waris yang sudah meninggal dengan bacaan seperti diatas selesai,  dilanjutkan dengan makan bersama, dalam makan bersama yang dimakan adalah nasi yang berisi dimana diatas tadi sudah dikatakan atau sering disebut dengan nasi kenduren. Kemudian biasanya dilanjutkan dengan pengajian, dan pengajian itu sendiri mengundang seorang tokoh agama untuk menerangkan tentang sadranan yang bertujuan agar masyarakat yang datang kemakom dan pengajian tersebut, semakin hikmat dalam mendoakan para leluhur mereka yang sudah meninggaldan agar masyarakat senantiasa ingat bahwa kita semua akan meniggal seperti leluhur yang sudah meninggal. Setelah semua acara selesai masyarakat kembali kerumah masing-masing.

C. Kontroversi
Apa yang menjadi latar belakang munculnya pro dan kontra mengenai nyadran di Desa cepogo dan kalangan mana yang terlibat kontroversi. Akar dari kontroversi itu sebenarnya berawal dari campurnya unsur animisme, hindu, dan Islam dalam ritual inti nyadran dan kemudian melebar ke rangkaian-rangkaian acara yang digelar selama seminggu untuk memeriahkan upacara itu. Kalangan muslim modernis (Muhammadiyah) menolak digelarnya upacara nyadran dan perayaan-perayaan yang menyertainya, sedangkan kalangan muslim tradisionalis (NU) mendukung.
Bagi mereka yang kontra, nyadran dianggap sebagai pesta hura-hura yang mengambur-hamburkan uang karena dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan yang sering tidak ada hubunganya dengan pesan dari ritual nyadran itu sendiri sebagai syukuran. Acara-acara yang seringkali digelar hingga larut malam pun mengundang tanggapan negatif.
Para pemuda Muhammadiyah khususnya memperdebatkan perayaanupacaranyadran. Bahkan pernah beberapa kali terlontar himbauan supaya tradisi nyadran dihapuskan. Akan tetapi, para muslimtradisionalis (NU) tidak menghiraukan larangan yang sifatnya internal itu. Bagi mereka, upacara nyadran merupakan bentuk kebudayaan warisan nenek moyang yang tidak mudah dihapus. Para muslimtradisionalis (NU) menganggap acara nyadran merupakan ritual wajib yang harus dilakukan.  Dalam pelaksanaan nyadran sebagian dari masyarakatmuslimtradisionalis (NU) mengatakan bahwa acara tersebut adalah salah satu cara untuk memintakan ampunan kepada leluhur yang sudah meninggal agar di ampuni dosa-dosanya dan terhindar dari api neraka, karena muslimtradisional berpandangan bahwa bulah ruwah atau yang sering disebut bulan sya’ban itu adalah bulan dimana seluruh amalan dilaporkan kepada yang kuasa, jadi mereka tetap melak sanakan budaya sadranan untuk memintakan ampunan para leluhur yang sudah meninggal. dan tujuan tertentu yang bernuansa spiritual seperti ritual-ritual keagamaan lain.
            Dengan digelar upacara nyadran, para masyarakatmuslimtradisionalis (NU) mendapatkan rejeki dan berkahdariupacara yang dilakukan selama seminggu sebelum inti ritual nyadran dilaksanakan. Namun pihak yang menentang menyatakan bahwa dampak buruk (mudharat) yang ditimbulkan adalah lebih besar dari kemanfaatannya (mashalahat) sebab penuh takhayul, bid’ah’ dan  syirik’. Karena kontroversi itu terjadi kesenjangan sosial dalam kehidupan sehari-hari antara para masyarakatmuslimtradisionalis (NU) dan sebagian kalangan masyarakat muslimmodernis (Muhammadyah) yang tidak menyukai acara tersebut. Jika kalangan muslim modernis (Muhammadiyah) tegas menolak tradisi itu, lain halnya dengan kalangan muslim tradisionalis (NU). NU tidak melarang nyadran karena, seperti yang telah disinggung di muka, tradisi warisan leluhur ini merupakan tanda syukur terhadap Tuhan.
Rasa syukur boleh diungkapkan dengan berbagai cara. Bahkan nyadran bisa menjadi syiar Islam seperti yang dilakukan oleh Walisongo dahulu. Menurut sudut pandang NU, jika nyadran dihukumi haram, maka sudah dari dulu dilarang oleh para penyebar Islam di Jawa.  terlepas dari sudut pandang keagamaan, sikap kompromis NU balong dowo berkaitan erat dengan alasan yang pada dasarnya bersifat ekonomis.





















                                                      BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

            Setelah mengamati secara menyeluruh tentang tradisi nyadran di masyarakat jawa atau cepogo  dapat disimpulkan bahwa tradisi nyadran yang menjadi rutinitas tahunan warga masyarakat itu merupakan tradisi yang kompleks. Dari sudut pandang agama, unsur animisme, Hindu, dan Islam menyatu didalamnya. Ini membuktikan bahwa ritual inti nyadran telah mengalami perkembangan yang evolutif sejak Jaman pra Hindu-Buddha hingga jaman Islam. Selain berfungsi secara spiritual (agama), nyadran ternyata memiliki fungsi sosial,  Bukan hanya sebagai ritual keagamaan, melainkan juga sebagai pembangun harmoni dalam masyarakat, alat untuk kegiatan politik praktis, dan kesempatan melakukan aktivitas dagang.
Kontroversi yang muncul adalah berakar dari masalah dasar kenyakinan keagamaaan (akidah). Pihak yang menentang (kalangan Muhammadiyah) mempunyai alasan mereka sendiri menolak tradisi nyadran. Mereka berhujah bahwa tradisi leluhur itu mengandung bid’ah dan syirik sehingga mengancam iman Islam. Pihak yang memperkenankan (NU) justru melihat tradisi nyadran sebagai alat syiar Islam, pro dan kontra tentang masalah ini hanyalah perbedaan dalam sudut pandang dalam melihat kebudayaan lokal yang ada beranggapan syirik dan ada yang beranggapan alat syiar islam.













DAFTAR PUSTAKA

Ali, Mukti, Metode Memahami Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar