PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Tradisi merupakan suatu gambaran
sikap dan perilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilakukan
secara turun-temurun dimulai dari nenek moyang.Tradisi yang telah membudaya
akan menjadi sumber dalam berakhlak dan berbudi pekerti seseorang. Kebudayaan merupakan elemen yang tidak bisa dilepaskan
dari kehidupan manusiaterutamadalammasyarakatjawa. Di satu
sisi, manusia pencipta budaya, namun di sisi lain,
manusia merupakan produk dari budaya tempat dia hidup. Hubungan saling pengaruh
ini merupakan salah satu bukti bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa budaya,
betapapun primitifnya. Kehidupan berbudaya merupakan ciri khas manusia dan akan
terus hidup melintasi alur zaman. Sebagai warisan nenek moyang, kebudayaan
membentuk kebiasaan hidup sehari-hari yang diwariskan turun-temurun. Ia tumbuh
dan berkembang dalam kehidupan manusia dan hampir selalu mengalami proses regenerasi kembali.
Di Indonesia
ada baragam kebudayaan, salah satunya adalah upacara nyadran. Nyadran menjadi
rutinitas sebagian besar masyarakat Jawa setiap tahun pada bulan dan hari yang
telah ditentukan. Upacara ini merupakan penghormatan kepada leluhur dan bisa
juga menjadi bentuk syukuran massal.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana sejarah nyadran?
2.
Mengapa tradisi rakyat yang telah
dipraktikkan sejak dulu kala itu menimbulkan kontroversi?
3.
Bagaimana sejarah nyadran makam?
C. Tujuan
1.
Mengetahui apa itu nyadran dan
sejauh mana masyarakat menghayati nilai yang terkandung dari suatu
tradisi kebudayaan nenek moyang.
2.
Mengetahui bagaimana pandangan dari
dua kalangan keagamaan (Muhammadiyah dan NU) di Desa Cepogo dalam menyikapi
pesta nyadran.
3.
Mengetaui sejarah nyadran makam.
BAB II
POKOK PEMBAHASAN
A. Sejarah Nyadran
Menurut sejarah, 'nyadran' adalah sebuah kata
berasal dari bahasa Sanskerta “sraddha” yang juga bisa diartikan sebagai
keyakinan, percaya atau kepercayaan. MasyarakatJawa kuno meyakini bahwa leluhur
yang sudah meninggal, sejatinya masih ada dan memengaruhi kehidupan anak cucu
atau keturunannya. Oleh karena itu, mereka sangat memperhatikan saat atau
waktu, hari dan tanggal meninggalnya leluhur. Pada waktu-waktu (saat) itu, mereka
yang masih hidup diharuskan membuat sesaji berupa kue, minuman, atau kesukaan
yang meninggal. Selanjutnya, sesaji itu ditaruh di meja, ditata rapi,
diberi bunga setaman, dan diberi penerangan berupa lampu (Budi Puspo Priyadi,
1989).
Lantas kapan sebenarnya tradisi
nyadranbagi orang Jawa itu dilakukan? Hampir tak ada yang tahu persis. Namun
dalam ajaran Islam, bulan Sya’ban yang datang menjelang Ramadhan merupakan
bulan pelaporan atas amal perbuatan manusia.Maka, di sejumlah tempat diadakan
sadranan yang maknanya adalah melaporkan segala daya dan upaya yang telah
dilakukan selama setahun, untuk nantinya manusia berintrospeksi. Dalam
masyarakat jawa, tradisi atau ritual nyadran sendiri sudah ada pada masa
Hindu-Buda, jauh sebelum agama Islam masuk.
Saat itu, nyadran dimaknai sebagai
sebuah ritual yang berupa penghormatan kepada arwah nenek moyang dan
memanjatkan doa keselamatan. Saat agama Islam masuk ke Jawa pada sekitar abad
ke-13, ritual semacam nyadran dalam tradisi Hindu-Buda lambat laun terakulturasi
dengan nilai-nilai Islam.
Akulturasi ini makin kuat ketika
Walisongo menjalankan dakwah ajaran Islam di Jawa mulai abad ke-15. Pribumisasi
ajaran Islam membuahkan sejumlah perpaduan ritual, salah satunya budaya
nyadran. Oleh karena itu, nyadran bisa jadi merupakan “modifikasi’ para wali
ketika memperkenalkan agama Islam di tanah Jawa.
Langkah itu ditempuh para wali,
karena untuk melakukan persuasi yang efektif terhadap orang Jawa, agar mau
mengenali dan masuk Islam. Nyadranpun menjadi media siar agama Islam. Selain
ritual nyadran, salah satu kompromi atau akulturasi budaya Jawa dalam islam
berupa penempatan nisan di atas jenazah yang dikuburkan.Batu nisan tersebut
sebagai penanda keberadaan si jenazah, agar kelak anak-cucunya dan segenap
keturunannya bisa mendatangi untuk ziarah, mendoakan sang arwah, sewaktu-waktu.
Bagi sebagian besar masyarakat pedesaan di Jawa, mudik terdiri atas dua arus.
Arus besar pertama terjadi dalam rangka menyongsong lebaran, atau Idul Fitri.
Sedangkan arus kedua terjadi pada
saat ruwahan menjelang bulan puasa. Namun para perantau kerap memposisikan
nyadran lebih tinggi dibanding Hari Raya idul Fitri. Setidaknya, paraperantau akan lebih memilih mudik pada saat ruwahan, dibanding pada lebaran.
B. Upacara Nyadran
Dalam tradisi nyadran kuburataumakam yang dilakukandi daerah cepogo sekitar 7hari.
sebelum acara terakhir daerah cepogo pada tiap rumah mereka menyediakan makanan
yang sangat banyak untuk menjamu tamu yang datang dari berbagai daerah yang
jumlahnya tidak sedikit sampai beribu-ribu, dan masyarakat cepogo mempunyai
pandangan bila semakin banyak orang yang datang kerumahnya mereka semakin
senang, masyarakat berkeyakinan atau mempunyai keyakinan semakin banyak tamu
yang datang rezki mereka tahun yang akan datang akan ditambah banyak, bahkan
masyarakat cepogo menabung dan rela pulang dari prantauan hanya untuk acara
setahunan yang sering disebut nyadran, dan puncaknya pada hari ketujuseluhuruh
masyarakat jawa atau cepogo mereka datang berbondong-bondong kemakam dengan
membawa makanan, makanan tersebut isinya yaitu antara lain nasi tumpeng, apem,
ketan, sayuran dll. Yang di letakkan pada tempat atau besek. masyarakat sekitar
menyebutnya dengan nama kenduren. Setelah masyarakat sudah datang semua dengan
membawa makanan dilanjutkan acara mendoakan paraleluhur mereka yang sudah
meninggal, karena masyarakat jawa yang menganut agama islam mereka berpandangan
bahwa bulan sya’ban adalah bulan dimana semua amalan baik yang terpuji maupun
yang tercela semua dilaporkan kepada yang kuasa, oleh karena itu ahli waris
yang masih hidup mereka mendoakan atau memintakan ampunan kepada leluhur –
leluhurnya yang sesudah meninggal agar di ampuni dosa-dosa nya dan terhindar
dari siksa kubur dan api neraka, dalam acara mendoakan yang di baca adalah dikir
tahlil, setelah dikir tahlil dilanjutkan membaca surat yasin bersama-sama
sampai selesai kemudian berdoa yang dipimpin oleh moden. Setelah acara
mendoakan atau memintakan ampunan padaahli waris yang sudah meninggal dengan
bacaan seperti diatas selesai, dilanjutkan
dengan makan bersama, dalam makan bersama yang dimakan adalah nasi yang berisi
dimana diatas tadi sudah dikatakan atau sering disebut dengan nasi kenduren.
Kemudian biasanya dilanjutkan dengan pengajian, dan pengajian itu sendiri
mengundang seorang tokoh agama untuk menerangkan tentang sadranan yang
bertujuan agar masyarakat yang datang kemakom dan pengajian tersebut, semakin
hikmat dalam mendoakan para leluhur mereka yang sudah meninggaldan agar
masyarakat senantiasa ingat bahwa kita semua akan meniggal seperti leluhur yang
sudah meninggal. Setelah semua acara selesai masyarakat kembali kerumah
masing-masing.
C. Kontroversi
Apa yang menjadi latar belakang
munculnya pro dan kontra mengenai nyadran di Desa cepogo dan kalangan mana yang
terlibat kontroversi. Akar dari kontroversi itu sebenarnya berawal dari
campurnya unsur animisme, hindu, dan Islam dalam ritual inti nyadran dan
kemudian melebar ke rangkaian-rangkaian acara yang digelar selama seminggu
untuk memeriahkan upacara itu. Kalangan muslim modernis (Muhammadiyah) menolak
digelarnya upacara nyadran dan perayaan-perayaan yang menyertainya, sedangkan
kalangan muslim tradisionalis (NU) mendukung.
Bagi mereka yang kontra, nyadran
dianggap sebagai pesta hura-hura yang mengambur-hamburkan uang karena
dimeriahkan dengan berbagai pertunjukan yang sering tidak ada hubunganya dengan
pesan dari ritual nyadran itu sendiri sebagai syukuran. Acara-acara yang
seringkali digelar hingga larut malam pun mengundang tanggapan negatif.
Para pemuda Muhammadiyah khususnya
memperdebatkan perayaanupacaranyadran. Bahkan
pernah beberapa kali terlontar himbauan supaya tradisi nyadran dihapuskan. Akan
tetapi, para muslimtradisionalis (NU) tidak
menghiraukan larangan yang sifatnya internal itu. Bagi mereka, upacara nyadran
merupakan bentuk kebudayaan warisan nenek moyang yang tidak mudah dihapus. Para muslimtradisionalis (NU) menganggap acara nyadran merupakan ritual wajib yang
harus dilakukan. Dalam pelaksanaan nyadran sebagian dari masyarakatmuslimtradisionalis
(NU) mengatakan bahwa acara tersebut adalah salah satu cara untuk memintakan
ampunan kepada leluhur yang sudah meninggal agar di ampuni dosa-dosanya dan
terhindar dari api neraka, karena muslimtradisional berpandangan bahwa bulah
ruwah atau yang sering disebut bulan sya’ban itu adalah bulan dimana seluruh
amalan dilaporkan kepada yang kuasa, jadi mereka tetap melak sanakan budaya
sadranan untuk memintakan ampunan para leluhur yang sudah meninggal. dan tujuan
tertentu yang bernuansa spiritual seperti ritual-ritual keagamaan lain.
Dengan digelar upacara nyadran, para masyarakatmuslimtradisionalis
(NU) mendapatkan
rejeki dan berkahdariupacara yang dilakukan selama seminggu sebelum inti ritual nyadran dilaksanakan. Namun
pihak yang menentang menyatakan bahwa dampak buruk (mudharat) yang ditimbulkan
adalah lebih besar dari kemanfaatannya (mashalahat) sebab penuh takhayul,
bid’ah’ dan syirik’. Karena kontroversi itu terjadi kesenjangan sosial
dalam kehidupan sehari-hari antara para masyarakatmuslimtradisionalis (NU) dan
sebagian kalangan masyarakat muslimmodernis (Muhammadyah) yang tidak menyukai
acara tersebut. Jika kalangan muslim modernis (Muhammadiyah) tegas menolak
tradisi itu, lain halnya dengan kalangan muslim tradisionalis (NU). NU tidak
melarang nyadran karena, seperti yang telah disinggung di muka, tradisi warisan
leluhur ini merupakan tanda syukur terhadap Tuhan.
Rasa syukur boleh diungkapkan dengan
berbagai cara. Bahkan nyadran bisa menjadi syiar Islam seperti yang dilakukan
oleh Walisongo dahulu. Menurut sudut pandang NU, jika nyadran dihukumi haram,
maka sudah dari dulu dilarang oleh para penyebar Islam di Jawa. terlepas
dari sudut pandang keagamaan, sikap kompromis NU balong dowo berkaitan erat dengan
alasan yang pada dasarnya bersifat ekonomis.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengamati secara menyeluruh tentang tradisi nyadran di masyarakat jawa atau cepogo dapat disimpulkan bahwa tradisi nyadran yang menjadi rutinitas tahunan warga masyarakat itu merupakan tradisi yang kompleks. Dari sudut pandang agama, unsur animisme, Hindu, dan Islam menyatu didalamnya. Ini membuktikan bahwa ritual inti nyadran telah mengalami perkembangan yang evolutif sejak Jaman pra Hindu-Buddha hingga jaman Islam. Selain berfungsi secara spiritual (agama), nyadran ternyata memiliki fungsi sosial, Bukan hanya sebagai ritual keagamaan, melainkan juga sebagai pembangun harmoni dalam masyarakat, alat untuk kegiatan politik praktis, dan kesempatan melakukan aktivitas dagang.
Kontroversi yang muncul adalah
berakar dari masalah dasar kenyakinan keagamaaan (akidah). Pihak yang menentang
(kalangan Muhammadiyah) mempunyai alasan mereka sendiri menolak tradisi
nyadran. Mereka berhujah bahwa tradisi leluhur itu mengandung bid’ah dan syirik
sehingga mengancam iman Islam. Pihak yang memperkenankan (NU) justru melihat
tradisi nyadran sebagai alat syiar Islam, pro dan kontra tentang masalah ini
hanyalah perbedaan dalam sudut pandang dalam melihat kebudayaan lokal yang ada
beranggapan syirik dan ada yang beranggapan alat syiar islam.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mukti, Metode Memahami Agama Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1991
0 komentar:
Posting Komentar