BAB I
PENDAHULUAN
Setelah abad ke-6 sm, muncul sejumlah ahli pikir
yang menentang adanya mitos. Mereka menginginkan pertanyaan tetntang alam
semesta ini yang jawabannya dapat diterima akal (rasional). Keadaan yang
demikian ini sebagai suatu demitologi, artinya suatu kebangkitan pemikiran
untuk menggunakan akal pikir dan meninggalkan hal-hal yang sifatnya mitologi.
Upaya para ahli pikir untuk mengarahkan kepada suatu kebebasan kemudian banyak
orang yang mencoba membuat suatu konsep yang dilandasi kekuatan akal pikir
secara murni. Maka timbullah
peristiwa ajaib, yang nantinya dapat dijadikan sebagai landasan peradaban
dunia. Dengan munculnya ahli pikir inilah maka kedudukan mitos digeser oleh
logos (akal), sehingga setelah pergeseran tersebut filsafat lahir.
Pemikiran-pemikiran para filsuf yunani periode awal sering kali disebut
sebagai filsafat alam. Penyebutan tersebut berdasarkan pada para ahli pikir
yang memfokuskan pemikirannya pada apa yang ada disekitarnya, yakni alam
semesta beserta isinya. Sehingga para pemikir-pemikir pada masa itu disebut
dengan filsuf alam. Adapun tokoh-tokoh filsuf alam diantaranya Thales, Anaximandros,
Amaximenes, dan lain-lain.
Plato merupakan seorang ahli filsafat yang
cukup terkenal di kalangan para filsuf mendasarkan pada keyakinan metafisik
bahwa ada eksistensi dari “yang ada” (idea) yang tidak berubah, tetap,
dan bersifat umum-universal.
Dalam makalah ini, kami akan membahas tentang “
Filsafat Alam sebagai Sikap Demitologi dan Idealisme Plato” yang akan kami
jelas pada bab selanjutnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Filsafat
alam sebagai sikap demitologi
1.
Filsafat
alam
Pemikiraan filsafat yunani periode awal sering kali
disebut sebagai filsafat alam. Penyebutan tersebut didasarkan pada munculnya banyak
ahli pikir alam yang memfoskukan pemikirnnya pada apa yang diamati disekitarnya,
yakni alam semesta.
Pada masa itu ada keterangan-keterangan tentang terjadinya alam semesta
serta dengan penghuninya, akan tetapi keterangan ini berdasarkan kepercayaan.
Ahli-ahli pikir tidak puas akan keterangan itu lalu mencoba mencari keterangan
melalui poemikirannya. Mereka menanyakan dan mencari jawaban: apakah sebetulnya
alam ini. Apakah inti sarinya? Mungkin yang beraneka warna dalam alam ini dapat
dipulangkan kepada yang satu atau yang tidak banyak itu.[1]
2.
Tokoh-tokoh Filsafat Alam
Berikut ini akan dijelaskan beberapa filsuf alam dan bergai pemikiranya
mengenai alam semesta:
a.
Thales ( 625-545 SM )
Thales
lahir di Miletus, Yunani. Ia bisa dikatakan sebagai filsuf alam. Pemikirannya
yang sangat terkenal adalah zat utama yang menjadi dasar semua kehidupan yaitu
air. Menurut Thales, air yang cair itu adalah pangkal, pokok dan dasar dari
segala-galanya. Segala sesuatu berasal dari air dan kembali menjadi air.[2]
Sebagai
dasar pemikirannya, Thales memberikan argument yang rasional, bahwa
tumbuh-tumbuhan, binatang, lahir ditempat yang lembab, bakteri-bakteri hidup
dan berkembang di tempat yang lembab, bakteri makan sesuatu yang lembab dan
kelembaban bersumber dari air. Dari air itu terjadilah tumbuh-tumbuhan dan
binatang, bahkan tanahpun mengandung air.[3]
b. Anaximandros
( 610 – 547 SM )
Anaximandros adalah
salah satu murid Thales. Anaximandros adalah seorang ahli astronomi dan ilmu
bumi. Ia mempunyai prinsip dasar alam memang tersebut bukanlah dari jenis
benda alam seperti air sebagaimana yang di katakan gurunya. Prinsip dasar alam
haruslah dari jenis yang tak terhitung dan tak terbatas yang oleh dia disebut
apeiron.
Apeiron adalah zat yang
tak terhingga dan tak terbatas dan tidak dapat dirupakan, tak ada persamaannya
dengan apapun. Segala yang kelihatan itu, yang dapat ditentukan rupanya dengan
panca indera kita. Adalah barang yang mempunyai akhir, yang berhingga. Oleh
karena itu barang asal, yang tidak berhingga, dan tiada berkeputusan,
mustahil salah satu dari barang yang berakhir itu.
Segala yang tampak dan
terasa dibatasi oleh lawannya. Yang panas dibatasi oleh yang dingin. Dimana
bermula yang dingin, disana bermula yang panas. Yang cair dibatasi oleh yang
beku, yang terang oleh yang gelap. Dan bagaimana yang terbatas itu akan dapat
memberikan sifat kepada yang tidak berkeputusan.
Segala yang tampak dan
terasa, segala yang dapat ditentukan rupanya dengan panca indera kita, semuanya
itu mempunyai akhir. Ia timbul (jadi), hidup, mati, dan lenyap. Segala yang
berakhir berada dalam kejadian senantiasa, yaitu dalam keadaan berpisah dari
yang satu kepada yang lain. Yang cair menjadi beku dan sebaliknya.
Semuanya itu terjadi dari ada Apeiron dan kembali pula kepada Apeiron.
Jika kita melihat sifat–sifat
yang di berikan oleh Anaximandros tentang Apeiron yaitu sebagai zat / sesuatu
yang tak terhingga, tak terbatas, tak dapat di serupakan dengan alam, maka
barang kali yang di maksud dengan Apeiron adalah Tuhan.[4]
c.
Anaximenes ( 590 – 548 SM
)
Anaximenes mengatakan,
bahwa intisari alam atau dasarnya pertama ialah udara, karena udaralah yang
meliputi seluruh alam serta udara pulalah yang menjadi dasar hidup bagi manusia
yang amat di perlukan oleh nafasnya.
Aniximenes yang mencari
asal alam, belum memperhatikan benar soal jiwa dalam penghidupan masyarakat.
Kepentingan jiwa itu tampak olehnya dalam perhubungan alam besar saja. Jiwa itu
menyusun tubuh manusia jadi satu dan menjaga supaya tubuh itu jangan gugur dan
bercerai–berai. Juga alam besar itu ada karena udara. Udaralah yang jadi dasar
hidupnya. Kalau tak ada udara, gugurlah semuanya itu. Makro
kosmos (alam) dan Mikro kosmos (manusia) pada
dasarnya satu rupa.
Menurut pendapat
Anaximenes udara itu benda, materi. Tetapi walaupun dasar
hidup dipandangnya sebagai benda, ia membedakan juga yang hidup dengan yang
mati. Badan mati, karena menghembuskan jiwa itu keluar. Yang mati tidak berjiwa.
B. Idealisme Plato
Plato
lahir di Athena tahun 427 SM. Ia adalah murid sekaligus sahabat diskusi
Socrates dan gurunya Aristoteles, Plato dikenal sebagai salah seorang filsuf
Yunani yang sangat berpengaruh.
BAB
III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Filsafat alam merupakan buah pikir para filsuf
yang arah dan pemikirannya kepada apa yang diamati disekitarnya yakni alam
semesta beserta isinya.
Filsafat alam sebagai sikap demitologi
memiliki pengertian bahwa penggunaan akal pikir yang memunculkan berbagai
pemikiran untuk mengetahui intisari alam guna menghilangkan kepercayaan akan
hal-hal yang bersifat mitologi.
DAFTAR
PUSTAKA
Sugiharto,
I. Bambang, 1996, Postmodernisme:
Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.
Awuy,
Tommy F., 1993, Problem Filsafat Modern
dan Dekonstruksi, Jakarta: Lembaga Studi Filsafat 1993.
Magnis-Suseno,
Franz, 1984, Etika Jawa: Sebuah Analisis
Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia.
-------,
1992, Filsafat sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta:
Kanisius.
Noerhadi,
Toeti Heraty, 1979, Aku dalam Budaya, Jakarta:
Pustaka Jaya, 1984.
0 komentar:
Posting Komentar