BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kata
khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad
ke-III dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan yang dimikili salaf. Karakteristik
yang paling menonjol dari khalaf adalah penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan
yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan
kesucian-Nya.
Adapun
ungkapan Ahlussunnah (sering disebut dengan sunni) dapat dibedakan menjadi dua
pengertian yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan
kelompok Syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah dan Asy’ariah masuk dalam
barisan sunni. Adapun sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada
dalam barisan Asy’ariah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Pengertian kedua inilah
yang digunakan dalam pembahasan ini.
Selanjutnya, term Ahlussunnah banyak
dipakai setelah munculnya Aliran Asy ‘ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang
menentang ajaran-ajaran Mu‘tazilah, Harun Nasution - dengan meminjam keterangan
Tasy Kubra Zadah - menjelaskan bahwa aliran Ahlussunnah muncul atas keberanian
dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sekitar tahun 300H.
B. Rumussan Masalah
Dari uraian
latar belakang di atas, maka selanjutnya penulisannya mengemukakan rumusan
masalah sebagai berikut :
1.
Apa
definisi dan asal munculnya aliran asy’ariyah
dan aliran al-maturidi?
2.
Siapa
pendiri aliran asy’ariyah dan al-maturidi?
3.
Siapa
tokoh-tokoh aliran asy’ariyah dan maturidi?
4.
Apa
saja sekte-sekte dan doktrin-doktrin asy’ariyah dan maturidi?
C. Tujuan
Berdasrkan
rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan pada penulisan makalah ini
adalah :
1.
Untuk
mengetahui definisi dan asal munculnya aliran asy’ariyah dan aliran al-maturidi.
2.
Untuk
mengetahui pendiri aliran asy’ariyah dan al-maturidi
3.
Untuk
mengetahui tokoh-tokoh aliran asy’ariyah dan maturidi
4.
Untuk
mengetahui sekte-sekte dan doktrin-doktrin asy’ariyah dan maturidi
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Al-Asy’ari
1.
Definisi dan asal munculnya aliran Asy’ari
Nama
lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin
Isma’il bin ‘Abudillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa
Al-Asy’ari. Al-Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 260 H/875 M. Setelah berusia
lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324
H/935 M.
Menurut
Ibn ‘Asakir (w. 571 H), ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham Ahlusunnah
dan ahli hadis. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia
sempat berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya
As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh
Mu’tazilah yang bernama Abu ‘Ali Al-Jubba’i (w. 303 H/915 M), ayah kandung Abu
Hasyim Al-Jubba’i (w. 321 H/932 M). Berkat didikan ayah tirinya, Al-Asy’ari
kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah.[1]
Al-asy’ari
menganut paham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu, secara
tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah Masjid Basrah bahwa dirinya telah
meninggalkan paham Mu’tazilah dan akan menunjukkan keburukan-keburukannya.
Menurut Ibn ‘Asakir yang
melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah adalah pengakuan
Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW sebanyak tiga kali.
Yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan ramadhan. Dalam tiga kali
mimpinya, Rasulullah SAW memperingatkannya agar segera meninggalkan paham
Mu’tazilah dan segera membela paham yang telah diriwayatkan dari Beliau.[2]
Sebab lain bahwa Al-Asyari berdebat
dengan gurunya Al-Jubba’i dan dalam perdebatan itu guru tak dapat menjawab
tantangan murid. Al-Jubba’i terpaksa diam.[3]
Tetapi bagaimanapun Al-Asy’ari
meninggalkan paham Mu’tazilah seketika golongan ini sedang berada dalam fase
kemunduran dan kelemahan. Setelah Mutawakkil membatalkan putusan Al-Ma’mun tentang
penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara. Dalam suasana demikianlah
al-asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang
sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada Hadis (ahlissunnah).[4]
2.
Pendiri aliran Asy’ari
Pendiri aliran
asy’ari ini sama dengan nama golongannya yaitu al-asyari.
3.
Tokoh aliran Asy’ari
a.
Abu
Bakar Al-Baqilani (w.403 H)
b.
Ibnu
Faruak (w.406 H)
c.
Ibnu
Ishak al Isfarani (w.418 H)
d.
Abdul
Kahir al Bagdadi (w.429 H)
e.
Imam
al Haramain Al Juwaini (w.478 H)
f.
Abdul
Mudzaffar al Isfaraini (w.478 H)
g.
Al
Ghazali (w.505 H)
h.
Ibnu
Tumart (w.524 H)
i.
As
Syihristani (w.548 H)
j.
Ar
Razi (w.1209 M)
k.
Al
Iji (w.756 H)
l.
Al
Sanusi (w.895 H)
4.
Doktrin-doktrin aliran Asy’ari
a. Tuhan dan
Sifat-sifat-Nya
Tuhan
dapat dilihat di akhirat, demikian pendapat Al-asy’ari. Di antara
alasan-alasannya ialah bahwa sifat-sifat yang tak dapat diberikan kepada Tuhan
hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan[5].
Tuhan memang memiliki sifat-sifat itu (berbeda dengan mu’tazilah) dan
sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki namun tidak boleh diartikan
secara harfiah.[6]
Selanjutnya Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik, sehingga
tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.[7]
Dengan demikian kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat itu tidak mesti berarti
bahwa Tuhan harus bersifat diciptakan.
b. Kebebasan
dalam Berkehendak
Menurut
Al-asy’ariah Allah pencipta perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang
mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala
sesuatu (termasuk keinginan manusia). Hal ini berbeda dengan Mu’tazilah yang
berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.[8]
c. Akal dan
Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Meskipun Al-asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya
akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh
penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu dan
Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat di
antara mereka. Al-asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan
wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkan pada akal.[9]
d.
Qadimnya Al-Qur’an
Asy’ari berpendapat bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata,
huruf, dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah karenanya tidak
qodim. Menurut Al-asy’ari Al-Qur’an tidak diciptakan. Sebab, apabila
diciptakan, sesuai dengan QS An-Nahl: 40
$yJ¯RÎ) $uZä9öqs% >äóÓy´Ï9 !#sÎ) çm»tR÷ur& br& tAqà)¯R ¼çms9 `ä. ãbqä3usù ÇÍÉÈ
40. Sesungguhnya
perkataan kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, kami Hanya
mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.
e.
Melihat Allah
Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak
dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah yang
menyebabkan dapat dilihat atau ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia
untuk melihat-Nya.[10]
f.
Keadilan
Al-asy’ari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang
mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan
memberi pahala pada orang yang berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah
tidak memiliki keharusan apa pun karena
Ia adalah Penguasa Mutlak.[11]
g.
Kedudukan Orang Berdosa
Al-asy’ari menolak ajaran yang dianut Mu’tazilah. Mengingat
kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang harus satu
diantaranya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh karena itu, Al-asy’ari
berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab
iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[12]
B.
Al Maturidi
1. Definisi , pendiri dan asal munculnya aliran Al-Maturidiyah
Aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu
Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli
kalami Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi
dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam
kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak
rasional.[13]
Aliran
Maturidiyah lahir di Samarkand pada pertengahan abad IX M. Pendirinya adalah
Abu Mansur Muhammad Ibnu Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Maturidiyah semasa
hidupnya dengan Asy’ary, hanya dia hidup di Samarkand sedangkan Asy’ary hidup
di Basrah. Asy’ary adalah pengikut Syafii dan Maturidy pengikut Mazhab Hanafy.
Karena itu kebanyakan pengikut Asy’ary adalah orang-orang Sufiyyah, sedang
pengikut pengikut Maturidy adalah orang-orang Hanafiah.
Golongan Maturidiyah berasal dari Abu Al
Mansur Al Maturidi.[14]
Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid,sebuah kota kecil di daerah
Samarkand, Trmsxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang di Uzbekistan. Tahun
kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar
pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/944. Gurunya
dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-balakhi. Ia wafat
pada tahun 268 H. Al-Maturidiyah hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang
memerintah tahun 232-274/-861 M.
Karir
pendidikan Al-maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada
fiqih. Hal ini ia lakukan
sebagai usaha untuk memperkuat pengetahuannya untuk menghadapi paham-paham
teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat islam, yang dipandangnya tidak
sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’. [15]
Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan
dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid (buku sumber terbesar
keyakinan dan aqidah aliran Maturidiyah), Ta’wil Al-Qur'an Makhas Asy-Syara’I
(buku ini berkenaan dengan tafsir Al Qur’an dan di dalamnya dijelaskan tentang
keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan pandangan-pandangan fikih imam mazhabnya
yaitu Abu Hanifah, pada hakikatnya ini adalah buku aqidah dan fikih. Buku ini
juga merupakan satu paket tafsir Al Qur’an dan buku tersebut mencakup juz
terakhir Qur’an dari surat Munafiqin sampai akhir Qur’an), Al-jald, dll. Selain
itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi yaitu
Al-aqaid dan Sarah
fiqih.[16]
2. Tokoh-tokoh
aliran Al-Maturidi
Tokoh yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu
al-Yusr Muhammad al-Badzawi yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan
meninggal pada tahun 493 Hijriyah. Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang dikuasainya
adalah karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi.
Al-Badzawi sendiri mempunyai beberapa orang murid, yang salah
satunya adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi
(460-537 H), pengarang buku al-‘Aqa’idal Nasafiah. Seperti
Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya sepaham dengan
Al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan
paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua
golongan, yaitu golongan Samarkand yang mengikuti
paham-paham Al-Maturidi dan golongan Bukhara yang mengikuti
paham-paham Al-Badzawi.[17]
3.
Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
a.Akal dan
wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi
mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal sebagaimana Asy’ariyah. Akan
tetapi, porsi yang diberikan pada akal lebih besar daripada yang diberikan pada
Asy’ariyah.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan
kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal . Kemampuan akal dalam
mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang
memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan
dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam
tentang makhluk ciptaannya. Apabila akal tidak mempunyai kemampuan
memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia
untuk melakukannya. Menurut Al-Maturidi, akal tidak mampu mengetahui kewajiban
lainnya, kecuali dengan bimbingan dari wahyu (Al-Qur’an).
Dalam masalah baik dan
buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu
terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah
hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam
kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi sesuatu yang berkaitan
dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1) Akal hanya mengetahui
kebaikan sesuatu itu;
2) Akal hanya mengetahui
keburukan sesuatu itu;
3) Akal tidak mengetahui
kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Jadi, yang baik
itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan
Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah
dan Al-Asy’ari. [18]
b. Perbuatan manusia
Menurut
Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam
wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar
sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.[19] Tuhan menciptakan daya dalam diri manusia dan manusia bebas
menggunakanya. Daya-daya tersebut
diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada
pertentangan antara qudrat Tuhan yang
menciptakan perbuatan manusia dengan ikhtiar
yang ada pada manusia.
Dalam masalah pemakaian daya, al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah,
yaitu adanya masyi’ah (kehendak) dan rida (kerelaan). Kebebasan manusia dalam
melakukan baik atau buruk tetap dalam kehendak Tuhan, tetapi memilih yang
diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak
dan kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak
atas kerelaan-Nya.[20]
c. Kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan
Allah Maha Berkehendak atas segala sesuatu / ciptaan-Nya termasuk
perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang
buruk. Akan tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan
hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.[21]
d. Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan antara
pemikiran Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari, Al-Maturidi
berpendapat bahwa Tuhan mepmpunyai sifat-sifat, seperti sama’, basher, dan sebagainya. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak
dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat
Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun
ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu).
e. Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini
diberitahukan oleh Al-Qur’an,antara lain firman Allah dalam Surat Al-Qiyamah
ayat 22 dan 23.
Al Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat
ditangkap dengan penglihatan karena Tuhan mempunyai wujud, walaupun Ia
immaterial (tak berwujud).[22] namun melihat
Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di
akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.[23]
f. Kalam Tuhan
Al Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan
bersuara dengan kala nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam
nafsi adalah sifat qodim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf
dan suara adalah baharu (hadits). Al Qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari
huruf dan kata-kata adalah baharu. Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui
hakekatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya tidak dapat kita ketahui
kecuali dengan suatu perantara.
Al Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan
tidak kekal di dalam neraka walaupun is mati sebelum bertobat. Hal ini karena
Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan
perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah bagi orang yang berbuat dosa syirik.
Dengan demikian berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan
pelakunya kekal di dalam neraka. oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain
syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.[24]
g. Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa
atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang
ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat
mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas
dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya.[25]
Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
1)
Tuhan
tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia diluar kemampuannya
karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi Tuhan
kemerdekaan dalam kemampuan dan pearbuatannya;
2)
Hukuman
atau ancaman dan janji pasti terjadi karena yang demikian merupakan tuntunan
keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
Oleh karena itu, Tuhan tidak
wajib bagi-Nya berbuat ash-shalah wa al-ashlah
(yang baik dan terbaik bagi manusia).
h.
Pengutusan
Rasul
Akal tak selamanya mampu mengetahui
kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban
mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari syariat yang dibebankan
kepada manusia. Al-Maturidi berpendapat bahwa akal memerlukan bimbingan ajaran
wahyu untuk dapat mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut.[26] Jadi
Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber
informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti
manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya., yaitu
bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat
berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.
i.
Pelaku
dosa besar (murtakib al-kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku
dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum
bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada
manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk
orang musyrik. [27]
Menurut Al-Maturidi, iman cukup dengan
tashdiq dan iqrar. Adapun amal adalah penyempurna iman. Oleh karena itu, amal
tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali menambah atau
mengurangi pada sifatny.[28]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.
Nama
lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin
Isma’il bin ‘Abudillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa
Al-Asy’ari. Al-Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 260 H/875 M. Setelah berusia
lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324
H/935 M.
2. Golongan Maturidiyah berasal dari Abu Al Mansur Al Maturidi. Al-Maturidiyah hidup pada
masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah
tahun 232-274/-861 M.
3. Doktrin-doktrin
al asy’ary di antaranya : Tuhan dan sifat-sifat-Nya, kebebasan
dalam berkehendak, akal dan wahyu
dan kriteria Baik dan buruk, qadimnya
Al-Qur’an, melihat Allah, keadilan, dan kedudukan orang
berdosa.
4. Doktrin-doktrin
al maturidi di antaranya : Akal dan wahyu, perbuatan manusia,
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sifat Tuhan, melihat Tuhan, kalam
Tuhan, Perbuatan Tuhan, pengutusan Rasul, pelaku dosa besar (murtakib al-kabir).
5. Tokoh-tokoh
aliran as asy’ary di antarannya : Abu
Bakar Al-Baqilani, Ibnu Faruak, Ibnu
Ishak al Isfarani, Abdul Kahir al Bagdadi, Imam
al Haramain Al Juwaini, Abdul Mudzaffar
al Isfaraini, Al Ghazali, Ibnu
Tumart, As Syihristani, Ar
Razi, Al Iji, dan Al
Sanusi.
6. Tokoh-tokoh
aliran aliran al maturidi di antaranya : Abu
Al-Yusr Muhammad Al-Badzawi, dan An Najm Al Din Muhammad Al-Nasafi.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini masih terdapat
beberapa kekurangan dan kesalahan, baik dari segi penulisan maupun dari segi
penyusunan kalimatnya dan dari segi isi juga masih perlu ditambahkan.Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan kepada para pembaca makalah ini agar dapat
memberikan kritikan dan masukan yang bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA
Rozak,
Abdul, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, Cet-2, 2012),
Harun
Nasution
[1] Rozak,
Abdul, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm
146-147
[2] Ibid
hlm, 147
[3] Harun
Nasution, hlm 66
[4] Ibid,
hlm 68-69
[5] Ibid,
hlm 70
[6] Rozak,
Abdul, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm 148
[8] Rozak,
Abdul, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm 148
[9] Ibid,
hlm 149
[10] Rozak,
Abdul, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm 150
[11] Ibid
[12] Ibid
[15] Rozak,
Abdul, dkk, Ilmu kalam, (Bandung:
Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm. 150
[18]
Rozak, Abdul, dkk , Ilmu kalam, (Bandung:
Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm. 152
[20]
Rozak, Abdul, dkk, Ilmu kalam,
(Bandung: Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm. 152-154
[22] Rozak,
Abdul, dkk, Ilmu kalam, (Bandung:
Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm. 155
[26] Rozak,
Abdul , dkk, Ilmu kalam, (Bandung:
Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm. 156
[28] Rozak, Abdul,
dkk, Ilmu
kalam, (Bandung: Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm. 156-167
0 komentar:
Posting Komentar