Sabtu, 08 November 2014

AHLUSSUNNAH KHALAF



BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad ke-III dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan yang dimikili salaf. Karakteristik yang paling menonjol dari khalaf adalah penakwilan terhadap sifat-sifat Tuhan yang serupa dengan makhluk pada pengertian yang sesuai dengan ketinggian dan kesucian-Nya.
Adapun ungkapan Ahlussunnah (sering disebut dengan sunni) dapat dibedakan menjadi dua pengertian yaitu umum dan khusus. Sunni dalam pengertian umum adalah lawan kelompok Syi’ah. Dalam pengertian ini, Mu’tazilah dan Asy’ariah masuk dalam barisan sunni. Adapun sunni dalam pengertian khusus adalah mazhab yang berada dalam barisan Asy’ariah dan merupakan lawan Mu’tazilah. Pengertian kedua inilah yang digunakan dalam pembahasan ini.
Selanjutnya, term Ahlussunnah banyak dipakai setelah munculnya Aliran Asy ‘ariyah dan Maturidiyah, dua aliran yang menentang ajaran-ajaran Mu‘tazilah, Harun Nasution - dengan meminjam keterangan Tasy Kubra Zadah - menjelaskan bahwa aliran Ahlussunnah muncul atas keberanian dan usaha Abu Al-Hasan Al-Asy’ari sekitar tahun 300H.

B. Rumussan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, maka selanjutnya penulisannya mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Apa definisi dan asal munculnya aliran asy’ariyah  dan aliran al-maturidi?
2.      Siapa pendiri aliran asy’ariyah dan al-maturidi?
3.      Siapa tokoh-tokoh aliran asy’ariyah dan maturidi?
4.      Apa saja sekte-sekte dan doktrin-doktrin asy’ariyah dan maturidi?

C. Tujuan
Berdasrkan rumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan pada penulisan makalah ini adalah :
1.      Untuk mengetahui definisi dan asal munculnya aliran asy’ariyah  dan aliran al-maturidi.
2.      Untuk mengetahui pendiri aliran asy’ariyah dan al-maturidi
3.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh aliran asy’ariyah dan maturidi
4.      Untuk mengetahui sekte-sekte dan doktrin-doktrin asy’ariyah dan maturidi


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Al-Asy’ari
1.  Definisi dan asal munculnya aliran Asy’ari
Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin ‘Abudillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Al-Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 260 H/875 M. Setelah berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.
Menurut Ibn ‘Asakir (w. 571 H), ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham Ahlusunnah dan ahli hadis. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia sempat berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik Al-Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu ‘Ali Al-Jubba’i (w. 303 H/915 M), ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (w. 321 H/932 M). Berkat didikan ayah tirinya, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah.[1]
Al-asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu, secara tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jamaah Masjid Basrah bahwa dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan akan menunjukkan keburukan-keburukannya.
Menurut Ibn ‘Asakir yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW sebanyak tiga kali. Yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan ramadhan. Dalam tiga kali mimpinya, Rasulullah SAW memperingatkannya agar segera meninggalkan paham Mu’tazilah dan segera membela paham yang telah diriwayatkan dari Beliau.[2]
Sebab lain bahwa Al-Asyari berdebat dengan gurunya Al-Jubba’i dan dalam perdebatan itu guru tak dapat menjawab tantangan murid. Al-Jubba’i terpaksa diam.[3]
Tetapi bagaimanapun Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah seketika golongan ini sedang berada dalam fase kemunduran dan kelemahan. Setelah Mutawakkil membatalkan putusan Al-Ma’mun tentang penerimaan aliran Mu’tazilah sebagai mazhab negara. Dalam suasana demikianlah al-asy’ari keluar dari golongan Mu’tazilah dan menyusun teologi baru yang sesuai dengan aliran orang yang berpegang kuat pada Hadis (ahlissunnah).[4]

2.  Pendiri aliran Asy’ari
Pendiri aliran asy’ari ini sama dengan nama golongannya yaitu al-asyari.

3.  Tokoh aliran Asy’ari
a.       Abu Bakar Al-Baqilani (w.403 H)
b.      Ibnu Faruak (w.406 H)
c.       Ibnu Ishak al Isfarani (w.418 H)
d.      Abdul Kahir al Bagdadi (w.429 H)
e.       Imam al Haramain Al Juwaini (w.478 H)
f.       Abdul Mudzaffar al Isfaraini (w.478 H)
g.      Al Ghazali (w.505 H)
h.      Ibnu Tumart (w.524 H)
i.        As Syihristani (w.548 H)
j.        Ar Razi (w.1209 M)
k.      Al Iji (w.756 H)
l.        Al Sanusi (w.895 H)


4.  Doktrin-doktrin aliran Asy’ari
a. Tuhan dan Sifat-sifat-Nya
Tuhan dapat dilihat di akhirat, demikian pendapat Al-asy’ari. Di antara alasan-alasannya ialah bahwa sifat-sifat yang tak dapat diberikan kepada Tuhan hanyalah sifat-sifat yang akan membawa kepada arti diciptakannya Tuhan[5]. Tuhan memang memiliki sifat-sifat itu (berbeda dengan mu’tazilah) dan sifat-sifat itu, seperti mempunyai tangan dan kaki namun tidak boleh diartikan secara harfiah.[6] Selanjutnya Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu unik, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.[7] Dengan demikian kalau dikatakan Tuhan dapat dilihat itu tidak mesti berarti bahwa Tuhan harus bersifat diciptakan.
b. Kebebasan dalam Berkehendak
Menurut Al-asy’ariah Allah pencipta perbuatan manusia, sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah lah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia). Hal ini berbeda dengan Mu’tazilah yang berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.[8]
c. Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Meskipun Al-asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-asy’ari mengutamakan wahyu dan Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan buruk pun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkan pada akal.[9]

d. Qadimnya Al-Qur’an
Asy’ari berpendapat bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf, dan bunyi, semua itu tidak melekat pada esensi Allah karenanya tidak qodim. Menurut Al-asy’ari Al-Qur’an tidak diciptakan. Sebab, apabila diciptakan, sesuai dengan QS An-Nahl: 40
$yJ¯RÎ) $uZä9öqs% >äóÓy´Ï9 !#sŒÎ) çm»tR÷Šur& br& tAqà)¯R ¼çms9 `ä. ãbqä3uŠsù ÇÍÉÈ
40.  Sesungguhnya perkataan kami terhadap sesuatu apabila kami menghendakinya, kami Hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.

e. Melihat Allah
Al-asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat, tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.[10]

f. Keadilan
Al-asy’ari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala pada orang yang berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah tidak memiliki keharusan apa pun karena  Ia adalah Penguasa Mutlak.[11]

g. Kedudukan Orang Berdosa
Al-asy’ari menolak ajaran yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat bagi seseorang harus satu diantaranya. Jika tidak mukmin ia kafir. Oleh karena itu, Al-asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[12]
B. Al Maturidi
1.  Definisi , pendiri dan asal munculnya aliran Al-Maturidiyah
Aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.[13]
Aliran Maturidiyah lahir di Samarkand pada pertengahan abad IX M. Pendirinya adalah Abu Mansur Muhammad Ibnu Muhammad ibn Mahmud Al-Maturidi. Maturidiyah semasa hidupnya dengan Asy’ary, hanya dia hidup di Samarkand sedangkan Asy’ary hidup di Basrah. Asy’ary adalah pengikut Syafii dan Maturidy pengikut Mazhab Hanafy. Karena itu kebanyakan pengikut Asy’ary adalah orang-orang Sufiyyah, sedang pengikut pengikut Maturidy adalah orang-orang Hanafiah.
Golongan Maturidiyah berasal dari Abu Al Mansur Al Maturidi.[14] Abu Manshur Al-Maturidi dilahirkan di Maturid,sebuah kota kecil di daerah Samarkand, Trmsxiana di Asia Tengah, daerah yang sekarang di Uzbekistan. Tahun kelahirannya tidak diketahui secara pasti, hanya diperkirakan sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriah. Ia wafat pada tahun 333 H/944. Gurunya dalam bidang fiqih dan teologi bernama Nasyr bin Yahya Al-balakhi. Ia wafat pada tahun 268 H. Al-Maturidiyah hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274/-861 M.
Karir pendidikan Al-maturidi lebih dikonsentrasikan untuk menekuni bidang teologi dari pada fiqih. Hal ini ia lakukan sebagai usaha untuk memperkuat pengetahuannya untuk menghadapi paham-paham teologi yang banyak berkembang dalam masyarakat islam, yang dipandangnya tidak sesuai dengan kaidah yang benar menurut akal dan syara’. [15]
Pemikiran-pemikirannya banyak dituangkan dalam bentuk karya tulis, diantaranya adalah kitab Tauhid (buku sumber terbesar keyakinan dan aqidah aliran Maturidiyah), Ta’wil Al-Qur'an Makhas Asy-Syara’I (buku ini berkenaan dengan tafsir Al Qur’an dan di dalamnya dijelaskan tentang keyakinan-keyakinan Ahlu Sunnah dan pandangan-pandangan fikih imam mazhabnya yaitu Abu Hanifah, pada hakikatnya ini adalah buku aqidah dan fikih. Buku ini juga merupakan satu paket tafsir Al Qur’an dan buku tersebut mencakup juz terakhir Qur’an dari surat Munafiqin sampai akhir Qur’an), Al-jald, dll. Selain itu ada pula karangan-karangan yang diduga ditulis oleh Al-Maturidi yaitu Al-aqaid dan Sarah fiqih.[16]
2. Tokoh-tokoh aliran Al-Maturidi                                                             
Tokoh yang sangat penting dari aliran Al-Maturidiyah ini adalah Abu al-Yusr Muhammad al-Badzawi yang lahir pada tahun 421 Hijriyah dan meninggal pada tahun 493 Hijriyah. Ajaran-ajaran Al-Maturidi yang dikuasainya adalah karena neneknya adalah murid dari Al-Maturidi.
Al-Badzawi sendiri mempunyai beberapa orang murid, yang salah satunya adalah Najm al-Din Muhammad al-Nasafi (460-537 H), pengarang buku al-‘Aqa’idal Nasafiah. Seperti Al-Baqillani dan Al-Juwaini, Al-Badzawi tidak pula selamanya sepaham dengan Al-Maturidi. Antara kedua pemuka aliran Maturidiyah ini, terdapat perbedaan paham sehingga boleh dikatakan bahwa dalam aliran Maturidiyah terdapat dua golongan, yaitu golongan Samarkand yang mengikuti paham-paham Al-Maturidi dan golongan Bukhara yang mengikuti paham-paham Al-Badzawi.[17]
3. Doktrin-doktrin Teologi Al-Maturidi
a.Akal dan wahyu
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal sebagaimana Asy’ariyah. Akan tetapi, porsi yang diberikan pada akal lebih besar daripada yang diberikan pada Asy’ariyah.
Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal . Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Apabila akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Menurut Al-Maturidi, akal tidak mampu mengetahui kewajiban lainnya, kecuali dengan bimbingan dari wahyu (Al-Qur’an).
Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi sesuatu yang berkaitan dengan akal pada tiga macam, yaitu:
1)      Akal hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu;
2)      Akal hanya mengetahui keburukan sesuatu itu;
3)      Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu.
Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada korteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari. [18]

b.    Perbuatan manusia
Menurut Al-Maturidi perbuatan manusia adalah ciptaan Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia.[19] Tuhan menciptakan daya dalam diri manusia dan manusia bebas menggunakanya.  Daya-daya tersebut diciptakan bersamaan dengan perbuatan manusia. Dengan demikian, tidak ada pertentangan antara qudrat Tuhan yang menciptakan perbuatan manusia dengan ikhtiar yang ada pada manusia.
Dalam masalah pemakaian daya, al-Maturidi membawa paham Abu Hanifah, yaitu adanya masyi’ah (kehendak) dan rida (kerelaan). Kebebasan manusia dalam melakukan baik atau buruk tetap dalam kehendak Tuhan, tetapi memilih yang diridhai-Nya atau yang tidak diridhai-Nya. Manusia berbuat baik atas kehendak dan kerelaan Tuhan, dan berbuat buruk juga atas kehendak Tuhan, tetapi tidak atas kerelaan-Nya.[20]

c.    Kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan
Allah Maha Berkehendak atas segala sesuatu / ciptaan-Nya termasuk perbuatan manusia dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk. Akan tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya sendiri.[21]

d.   Sifat Tuhan
Berkaitan dengan masalah sifat Tuhan, dapat ditemukan persamaan antara pemikiran Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari. Seperti halnya Al-Asy’ari, Al-Maturidi berpendapat bahwa Tuhan mepmpunyai sifat-sifat, seperti sama’, basher, dan sebagainya. Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Sifat-sifat Tuhan itu mulzamah (ada bersama/inheren) dzat tanpa terpisah (innaha lam takun ain adz-dzat wa la hiya ghairuhu).

e.    Melihat Tuhan
Al-Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur’an,antara lain firman Allah dalam Surat Al-Qiyamah ayat 22 dan 23.
Al Maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat ditangkap dengan penglihatan karena Tuhan mempunyai wujud, walaupun Ia immaterial (tak berwujud).[22] namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.[23]

f.     Kalam Tuhan
Al Maturidi membedakan antara kalam yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kala nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat qodim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baharu (hadits). Al Qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baharu. Kalam nafsi tidak dapat kita ketahui hakekatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya tidak dapat kita ketahui kecuali dengan suatu perantara.
Al Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun is mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah bagi orang yang berbuat dosa syirik. Dengan demikian berbuat dosa besar selain syirik tidak akan menyebabkan pelakunya kekal di dalam neraka. oleh karena itu, perbuatan dosa besar (selain syirik) tidaklah menjadikan seseorang kafir atau murtad.[24]

g.    Perbuatan Tuhan
Semua yang terjadi atas kehendak-Nya, dan tidak ada yang memaksa atau membatasi kehendak Tuhan, kecuali karena ada hikmah dan keadilan yang ditentukan oleh kehendak-Nya sendiri. Setiap perbuatan-Nya yang bersifat mencipta atau kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia tidak lepas dari hikmah dan keadilan yang dikehendaki-Nya.[25] Kewajiban-kewajiban tersebut antara lain:
1)      Tuhan tidak akan membebankan kewajiban-kewajiban kepada manusia diluar kemampuannya karena hal tersebut tidak sesuai dengan keadilan, dan manusia juga diberi Tuhan kemerdekaan dalam kemampuan dan pearbuatannya;
2)      Hukuman atau ancaman dan janji pasti terjadi karena yang demikian merupakan tuntunan keadilan yang sudah ditetapkan-Nya.
 Oleh karena itu, Tuhan tidak wajib bagi-Nya berbuat ash-shalah wa al-ashlah (yang baik dan terbaik bagi manusia).

h.    Pengutusan Rasul
Akal tak selamanya mampu mengetahui kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari syariat yang dibebankan kepada manusia. Al-Maturidi berpendapat bahwa akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk dapat mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut.[26] Jadi Pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi, tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan oleh rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuan akalnya., yaitu bahwa pengutusan rasul kepada umat adalah kewajiban Tuhan agar manusia dapat berbuat baik bahkan terbaik dalam hidupnya.

i.      Pelaku dosa besar (murtakib al-kabir)
Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak kafir dan tidak kekal di dalam neraka walaupun ia mati sebelum bertobat. Hal ini karena Tuhan telah menjanjikan akan memberikan balasan kepada manusia sesuai dengan perbuatannya. Kekal di dalam neraka adalah balasan untuk orang musyrik. [27]
Menurut Al-Maturidi, iman cukup dengan tashdiq dan iqrar. Adapun amal adalah penyempurna iman. Oleh karena itu, amal tidak akan menambah atau mengurangi esensi iman, kecuali menambah atau mengurangi pada sifatny.[28]









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu Al-Hasan ‘Ali bin Isma’il bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin ‘Abudillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari. Al-Asy’ari lahir di Basrah pada tahun 260 H/875 M. Setelah berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324 H/935 M.
2.      Golongan Maturidiyah berasal dari Abu Al Mansur Al Maturidi. Al-Maturidiyah hidup pada masa khalifah Al-Mutawakil yang memerintah tahun 232-274/-861 M.
3.      Doktrin-doktrin al asy’ary di antaranya : Tuhan dan sifat-sifat-Nya, kebebasan dalam berkehendak, akal dan wahyu dan kriteria Baik dan buruk, qadimnya Al-Qur’an, melihat Allah, keadilan, dan kedudukan orang berdosa.
4.      Doktrin-doktrin al maturidi di antaranya : Akal dan wahyu, perbuatan manusia, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, sifat Tuhan, melihat Tuhan, kalam Tuhan, Perbuatan Tuhan, pengutusan Rasul, pelaku dosa besar (murtakib al-kabir).
5.      Tokoh-tokoh aliran as asy’ary di antarannya : Abu Bakar Al-Baqilani, Ibnu Faruak, Ibnu Ishak al Isfarani, Abdul Kahir al Bagdadi, Imam al Haramain Al Juwaini, Abdul Mudzaffar al Isfaraini, Al Ghazali, Ibnu Tumart, As Syihristani, Ar Razi, Al Iji, dan Al Sanusi.
6.      Tokoh-tokoh aliran aliran al maturidi di antaranya : Abu Al-Yusr Muhammad Al-Badzawi, dan An Najm Al Din Muhammad Al-Nasafi.
B.     Saran
Dalam penulisan makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan kesalahan, baik dari segi penulisan maupun dari segi penyusunan kalimatnya dan dari segi isi juga masih perlu ditambahkan.Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kepada para pembaca makalah ini agar dapat memberikan kritikan dan masukan yang bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA

Rozak, Abdul, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, Cet-2, 2012),
Harun Nasution




[1] Rozak, Abdul, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm 146-147
[2] Ibid hlm, 147
[3] Harun Nasution, hlm 66
[4] Ibid, hlm 68-69
[5] Ibid, hlm 70
[6] Rozak, Abdul, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm 148
[8] Rozak, Abdul, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm 148
[9] Ibid, hlm 149
[10] Rozak, Abdul, dkk, Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm 150
[11] Ibid
[12] Ibid
[15] Rozak, Abdul, dkk, Ilmu kalam, (Bandung: Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm. 150
[18] Rozak, Abdul, dkk , Ilmu kalam, (Bandung: Pustaka Setia, cet-2, 2012),  hlm. 152
[20] Rozak, Abdul, dkk, Ilmu kalam, (Bandung: Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm. 152-154
[22] Rozak, Abdul, dkk, Ilmu kalam, (Bandung: Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm. 155
[26] Rozak, Abdul , dkk, Ilmu kalam, (Bandung: Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm. 156
[28] Rozak, Abdul,  dkk, Ilmu kalam, (Bandung: Pustaka Setia, cet-2, 2012), hlm. 156-167

0 komentar:

:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i: :j: :k: :l: :m: :n:

Posting Komentar