BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Saparan merupakan upacara ritual
yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Jatinom
khususnya. Upacara Saparan di desa Jatinom terkenal dengan nama Yaqowiyyu.
Banyaknya nilai kebudayaan dan religi yang terkandung dalam upacara ini menjadi
alasan utama dalam penelitian ini.
Upacara Saparan merupakan ritual
rakyat yang dianggap suci oleh masyarakat, khususnya masyarakat Jatinom,
Klaten. Masyarakat percaya bila upacara Saparan dilaksanakan akan membawa
kebaikan dan bila tidak, mungkin akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Apabila dipandang dari sudut
budaya, akan ditemukan berbagai tradisi yang mengandung makna filosofi tinggi.
Tradisi untuk menyebar apem mempunyai nilai yang berbeda dengan upacara Saparan
di daerah lain. Filosofi dari sudut religi adalah kata apem berasal dari bahasa
Arab “afwun” yang bermaksud sebagai saling maaf memaafkan satu sama lain.
Tradisi ini juga menambah keimanan
dan mutu keagamaan masyarakat. Upacara ini selalu dikaitkan dengan tradisi
ziarah makam Ki Ageng Gribig yang dimaksud untuk mendoakannya dan untuk
mendoakan saudara-saudara yang telah meninggal agar diampuni dosa-dosanya oleh
Allah SWT.
Sampai saat ini upacara Saparan
masih eksis diperingati oleh masyarakat Jatinom dan sekitarnya disetiap
tahunnya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sejarah/asal mula munculnya
uapcara Saparan ?
2. Bagaimanakah pelaksananan ritual-ritual
upacara Saparan?
3. Seberapa penting perayaan upacara
Saparan bagi masyarakat Jatinom?
4. Apakah ada
keyakinan-keyakinan/kepercayaan yang melekat pada ritual upacara Saparan?
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui sejarah/asal mula
munculnya upacara Saparan.
2. Untuk mengetahui pelaksananan
ritual-ritual upacara Saparan.
3. Untuk mengetahui pentingnya perayaan
upacara Saparan bagi masyarakat Jatinom.
4. Untuk mengetahui
keyakinan-keyakinan/kepercayaan yang melekat pada ritual upacara Saparan
BAB
II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Asal-usul Cerita Rakyat Kyai Ageng
Gribig
Kyai Ageng Gribig yang bernama asli
Wasibagno Timur, merupakan keturunan Prabu Brawijaya ke-5 dari Majapahit. Ia adalah seorang ulama besar yang memperjuangkan Islam
di pulau Jawa, tepatnya di desa Jatinom Klaten. Misinya adalah mengemban dawuh
dari pendahulu tokoh utama atau dari kalangan walisongo, tujuannya meninggalkan
dari kerajaan adalah ingin mengemban dakwah Islam dan juga mempunyai keinginan
menjunjung tinggi Bangsa dan Negara.
Kyai Ageng
Gribig munajat kepada Allah, Kyai Ageng Gribig tahan dan kuat bersemedi, maka
terkabulah permohonannya dan mendapatkan ilham yang jelas dalam pendengarannya.
Turunlah atau berhentilah lalu ia dari persemediannya, lalu petunjuk atau ilham
yang diterima itu dilaksanakan. Petunjuk itu berbunyi ” sirolumakuwa
saka girikene ngulana aja pati-pati sira, pegat anggonmu lumaku lamun during
tinemu uwit jati sak loran kang ana ereng-ereng merapi”, yang artinya
berjalanlah anda dari Giri berjalan ke barat anda jangan sekali-kali berhenti
apabila belum menemukan pohon jati (dua pohon jati) dilereng gunung Merapi
(Jatinom sekarang). Setelah mendapat petunjuk itu dia menjalankan, menemukan
pohon jati yang masih muda dan yang sangat tinggi, setelah didekati hilang.
Akhirnya salah satu pengikut memberi petunjuk cobalahKyai menika sitinipun
radi inggil yang artinya Kyai, tanahnya itupun agak tinggi, setelah
beliau melihat dari tanah yang lebih tinggi, ternyata pohon tersebut kelihatan
mengeluarkan cahaya yang sangat menyilaukan, dia sambil menyabda (memberi
fatwa) bila suatu saat perkembangan jaman disini saya beri nama Njinggil (tanah
yang lebih tinggi) hingga sampai sekarang disebut desa Njinggil diutara
Jatinom. Akhirnya setelah beliau menyabda dengan nama kampung atau dukuh
Njinggil, Kyai Ageng Gribig berjalan kaki ke pohon tersebut untuk bertapa
dipohon jati tersebut hingga beberapa tahun lamanya. Lalu pada saat itu beliau
menerima ilham atau wangsit atau mukjizat dari sang Maha Kuasa, yang berbunyi
karena jati ini masih muda tebanglah untuk mendirikan masjid. Lalu beliau
melkasanakan ilham tersebut yaitu mendirikan sebuah masjid dan sekaligus
mendirikan sebuah desa yang diberi nama Jatinom (Jati enom) yang artinya jati
muda.
Jatinom adalah
nama suatu kecamatan di Kabupaten Klaten yang terletak pada jalur utama yang
menghubungkan antara Klaten dan Boyolali. Di Jatinom setiap bulan sapar dalam
penanggalan Jawa atau Islam diadakan sebaran apem atau Yaqowiyyu. Tradisi ini
dilaksanakan pada hari Jum’at di bulan Sapar yang berada di masjid besar Jatinom.
Orang Jatinom biasa menjadikan perayan ini sebagai ajang bersilaturahmi kesanak
saudara. Pada saat itu setiap rumah membuat kue apem, yang nanti disajikan pada
tamu yang datang. Tradisi ini konon bermula dari cerita tentang Kyai Ageng
Gribig yang memberi kue apem kepada muridnya, tetapi jumlahnya hanya sedikit
sehingga agar adil kue apem tersebut dilemparka ke muridnya untuk dibagi (Sumarta Sastra dan Indarjo: 1953). Bahwa asal usul cerita
rakyat Kyai Ageng Gribig saat dakwah beliau sangatlah mengena pada masyarakat
dan pada saat itu masih memeluk agama Hindu Budha. Syiar beliau tidak hanya di
daerah Klaten saja tetapi menyebar luas sampai ke luar daerah Boyolali dan
Surakarta. Kyai Ageng Gribig sangat pandai dalam Strategi dakwah, hingga
masyarakat pada waktu itu masih kental dengan keyakinan pada pohon dan batu
besar, menjadi beriman kepada Allah SWT. Keluhuran serta jasa beliau senantiasa
terkenang dan melekat pada masyarakat terutama yang tinggal di Daerah Klaten
dan Boyolali. Banyak
peninggalan-peninggalan beliau yang menjadi bukti sejarah bahwa Kyai Ageng
Gribig adalah ulama besar yang berhasil dalam dakwahnya. Salah satu
peninggalannya adalah Masjid alit Jatinom dan Masjid besar Jatinom yang
dijadikan sebagai pusat belajar mengajar, serta tongkat beliau yang sampai
sekarang dijadikan sebagai tongkat khotib ketika Sholat Jum’at dan juga kolam
wudzu yang terletak 50 meter dari masjid. Selain peninggalan yang berupa benda,
beliau juga meninggalkan tradisi ritual yang disebut perayaan tradisional “Ya Qowiyyu”.
Hingga saat ini tradis tersebut tetapa berlangsung dan dihadiri oleh puluhan
ribu jama’ah yang sebagian besar datang dari berbagai wilayah di Jawa Tengah
dan DIY. Kedatangan mereka pada acara tersebut biasanya diiringi dengan harapan
agar mendapat apem (sejenis kue panggang terbuat dari tepung beras dan rasany
manis) yang konon memiliki berkah kekuatan supranatural tertentu.
Perayaan “Ya
Qowiyyu” pertama kali dilakukan Kyai Ageng Gribig yaitu setahun sekali
(kalender Jawa) bulan Sapar, tanggal 12 keatas dan 20 kebawah yang jatuh pada
hari Jum’at dan dilaksanakan 1 tahun sekali, sewaktu pelaksanaan atau puncak
peringatan yaitu sehabis melaksanakan Sholat Jum’at, sebagai ungkapan rasa
syukur atas pemberian nikmat Allah SWT. Rasa syukur itu diungkapkan dalam
puji-pujian, berupa kalimat dala bahasa Arab “Ya Qowiyyu” yang artinya Allah
Yang Maha Perkasa (Kuat). Kalimat itu dilafalkan berkali-kali akhirnya
masyarakat menamai prosesi adat itu sebagi “Ya Qowiyyu” yang merupakan wujud
sedekah berua makanan kepada masyarakat luas. Konon Kyai Ageng Gribig bersama
Sultan Agung sering sholat tarawih dan jum’at di Mekkah. Suatu hari, sepulang
dari tanah suci meraka membawa oleh-oleh tiga buah apem. Akan tetapi, karena
jama’ah pada waktu itu sangtlah banyak maka tiga apem itu dicampurkan dalam
apem yang dibuat sendiri untuk dibagikan oleh-oleh. Meskipun berkali-kali
ditambah bahannya, akan tetapi jumlah Apem itu belum mencukupi jumalh jama’ah
yang hadir. Akhirnya Kyai Ageng Gribig memutuskan untuk menyebar apem itu seusai
sholat jum’at didepan masjid besar untuk diperebutkan. Siapa yang mendapatkan
apem itu, merekalah yang mendapat berkah.
Sejak itu Kyai
Ageng Gribig berpesan agar Jama’ah menyisihkan sebagian rejeki untuk bersedekah
dan memberi makan pada orang miskin. Pesan itu diwujudkan dalam bentuk perayaan
“Ya Qowiyyu” yang terus berlangsung sampai sekarang. Meskipun beliau sudah
wafat tradisi “Ya Qowiyyu” masih tetap dilaksanakan bahkan dari tahun ke tahun,
pengunjung yang datang dalam ritual tersebut makin banyak. Karena halaman
masjid besar tidak bisa menampung pengunjung, maka beberapa tahun ini
pemerintah setempat mengalihkan tempat perayaan kepinggiran sungai yang
terdapat kolam. Kolam itulah yang konon adalah tempat wudzu Kyai Ageng Gribig
beserta santrinya yang berjarak 50 meter dari masjid satu minggu sebelum
perayan “Ya Qowiyyu” dibuka secara resmi, wilayah Jatinom memang tampak ramai
oleh orang yang khusus datang untuk menyaksikan rangkaian perayaan tradisional
yang sudah berlangsung turun temurun itu. Acara penyebaran apem diawali dengan
pembacaan Tahlil dan Do’a serta acara ritual lainnya. Panitia menyediakan dua
beton setinggi 4 meter luas 2x2 meter persegi sebagai pusat penyebaran
apem. Sebanyak sepuluh orang di masing-masing menara yang mengenakan kaos putih
ditugaskan melemparkan apem ke tengah-tengah kerumunan masa. Orang-orang
mengacung-acungkan tangan mereka kearah menara agar tempat mereka berdiri di
beri apem dan begitu apem jatuh kearah mereka tanpa sungkan-sungkan mereka
saling dorong dan berebutan untuk mendapatkannya. Sering kali apem yang semula
utuh dilantas hancur tatkala menjadi bahan rebutan. Ada yang kreatif
menggunakan jaring yang diberi galah untuk menangkap apem yang berhamburan.
Apem yang disebar dalam perayaan “Ya Qowiyyu” sampai saat ini seberat tiga ton.
Begitulah tradisi “Ya Qowiyyu” yang digagas Kyai Ageng Gribig, yang sampai saat
ini masih diyakini oleh masyarakat setempat sebagai perayaan yang mendatangkan
berkah bagi kehidupan mereka.
B. Nilai-nilai
Dalam Cerita Rakyat Kyai Ageng Gribig
Nilai-nilai yang
terkandung dalam cerita rakyat Kyai Ageng Gribig adalah sebagai berikut :
1. Nilai Keagamaan
Cerita rakyat Kyai
Ageng Gribig merupakan gambaran pemasukan nilai-nilai agama dalam suatu
masyarakat yang masih mempercayai adanya animisme. Cerita rakyat Kyai Ageng
Gribig dalam konteks budaya memiliki arti penting sebagai dalam penyiaran agama
Islam.
2. Nilai Sosial
Dalam hal ini
adalah moral yang sesuai dengan ajaran agama Islam. Hal tersebut antara lain
dapat dibina melalui pengajian atau ceramah mengenai agama Islam. Dimana isi
atau inti pesan yang disampaikan adalah menganjurkan manusia untuk berbuat
kebajikan. Selain pembinaan moral juga memantapkan aset budaya daerah yaitu
dengan adanya upacara tradisional Yaqowiyyu dapat meningkatkan silaturahmi.
3. Nilai Kepahlawanan
Kyai Ageng Gribig
dikenang oleh seluruh lapisan masyarakat sebagai manusia yang berjiwa besar dan
besar pula jasanya dalam mengajak untuk beriman kepada Allah SWT.
C. Fungsi
Masyarakat Pemiliknya
Cerita rakyat
atau juga yang disebut mitos yang hidup dalam suatu masyarakat memberikan
manfaat atau fungsi bagi masyarakat tersebut. Bagi masyarakat yang mempercayai
mitos, mitos berarti sesuatu yang benar dan menajadi milik mereka yang
berharga, karena merupakan sesuatu yang suci, bermakna dan menjadi contoh bagi
kehidupan manusia. Itulah sebabanya mitos dianggap memberikan petuah bagi
kehidupan masyarakat. Dan fungsi Cerita Kyai Ageng Gribig diantaranya adalah :
1. Sebagai alat
pencerminan angan-angan.
Cerita Kyai
Ageng Gribig mencerminkan harapan dan keinginan masyarakat setempat untuk
menajalani model kehidupan yang diidealkan dan ditampilkan dalam cerita lewat
tokoh. Cerita Rakyat Kyai Ageng Gribig memiliki pesan moral yang ditujukan
kepada masyarakat setempat agar meninggalkan kebiasaan memuja roh untuk
kemudian beriman dan taqwa kepada Allah SWT.
2. Sebagai alat
pendidikan keagamaan.
Fungsi cerita
rakyat Kyai Ageng Gribig sebagai alat pendidikan keagamaan yaitu pendidikan
tentang aspek agama Islam, pendidikan dibidang politik yaitu politik dakwah
Islam, pendidikan tentang seni budaya dan pendidikan sosial yang menurut agama
Islam. Bahwa dalam cerita rakyat Kyai Ageng Gribig digambarkan sebagai tokoh
yang taat beribadah, berusaha menyebarkan kebaikan untuk sesama dan mengajak
manusia untuk meninggalkan budaya Atheis. Cerita rakyat Kyai Ageng Gribig
menunjukkan sebagai fungsi alat pendidikan keagamaan melalui episode cerita
pada saat Kyai Ageng Gribig membuka Jatinom yang dahulu berupa hutan dengan
pertapaan dibawah pohon jati muda sehingga dinamakan Jatinom dan mendidik
masyarakat Jatinom pada jalan Allah. Beliau senantiasa menyebut nama Allah SWT
disetiap kesempatan dan jika akan melakukan kegiatan.
3. Sebagai pengawas
agar norma-norma masyarakat dipatuhi.
Cerita rakyat
Kyai Ageng Gribig tersirat adanya larangan dan aturan tentang yang harus
dijalani manusia dan adanya anjuran kepada manusia hanya memohon kepada Allah
SWT semata. Seperti diketahui konsep agama dipandang sebagai perangkat aturan
dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia ghaib khususnya
dengan Allah, mengatur hubungan manusia dengan manusia, mengatur hubungan
manusia dengan lingkungan. Oleh karena itu cerita rakyat Kyai Ageng Gribig
diceritakan dari generasi ke generasi adalah sebagai pengingat dan penggugah
masyarakat untuk tidak meninggalkan agama.
4. Sebagai alat
kebudayaan.
Dengan adanya
tradisi Saparan atau ”Ya Qowiyyu” dalam cerita rakyat Kyai Ageng Gribig di
kecamatan Jatinom dilestarikan oleh masyarakat setempat dan dapat dijadikan
budaya dalam setiap bulan Sapar masyarakat sekitar Jatinom sangat identik dan
menjadi ciri khusus bahwa untuk memperingati bulan Sapar, masyarakat
membuat apem.
D. Pelaksanaan
Upacara Ritual-ritual Saparan
Persiapan
pelaksanaan upacara Saparan “Yaqowiyyu” dilaksanakan satu bulan sebelum
perayaan Saparan. Diawali dengan pembentukan panitia khusus yaitu Pengelola dan
Pelestari Peninggalan Ki Ageng Gribig Jatinom yang bekerjasama dengan instansi
pihak terkait. Persiapan matang dari panitia terlihat pada satu minggu terakhir
sebelum upacara penyebaran apem.
Upacara Saparan “Yaqowiyyu” dilaksanakan satu tahun
sekali dalam kalender Jawa yaitu pada bulan Sapar pada hari Jumat. Dilaksanakan
pada hari Jumat karena Ki Ageng Gribig juga melaksanakannya pada hari Jumat.
Puncak acara ritual Saparan “Yaqowiyyu” adalah pada saat penyebaran apem usai
sholat Jumat, dimulai jam 12.30 sampai dengan jam 14.30 WIB.
Tempat-tempat yang berkaitan dengan pelaksanaan
Upacara Saparan “Yaqowiyyu” antara lain halaman Masjid Besar Jatinom untuk
penyerahan gunungan apem dari Muspida kepada pengurus masjid. Gunungan apem
kemudian dibawa ke kantor kecamatan untuk acara pembukaan upacara. Dimulai dari
Kecamatan Jatinom dan berakhir di Masjid Besar Jatinom, Berbagai macam parade
disuguhkan antara lain:
1.
Marching Band
Marcjing Band ini diisi dari Taman Kanak-Kanak
Hingga Sekolah Menengah Kejuruan, berbagai macam gaya dan model.
2.
Reog
Seni tradisional dari budaya Indonesia yang
bentuknya menyeramkan, biasanya berupa hewan, gambaran setan, dan lain
sebagainya.
3. Ondel-Ondel
Merupakan orang-orangan yang berbentuk sangat besar
yang diadalamnya ada orang yang menjalanakanny, kalau di Betawi biasa digunakan
untuk Khitanan, Perkawinan dan Acara Seni.
4.
Perkumpulan Pemuda dan Anak
Sekelompok anak kecil dan pemuda yang
berpakaian adat dari berbagai daerah di Indonesia dan kebudayaan lainnya.
Masih
banyak lagi pertunjukan-pertunjukan yang disuguhkan didalam acara
pembukaan
Saparan ini yang lebih menarik.
Diawali
dengan mobil dari Kepolisian Sektor Jatinom dilanjutkan dengan arak-arakan dan
juga dikawal sejumlah aparat dari Polres Klaten. Serta tak lupa pemotongan pita
oleh beliau Bapak Jaka Purwanta, S.Sos. MM selaku Camat Jatinom.
Dua hal ini dilakukan 7 hari sebelum penyebaran
apem. Upacara kedua adalah penyerahan kembali gunungan apem ke Masjid Besar
Jatinom untuk disemayamkan dua hari sebelum acara inti. Upacara ketiga atau
upacara inti bertempat di sendang Klampeyan. Tempat yang digunakan Ki Ageng Gribig
berdiskusi bersama muridnya tentang masalah fiqih. Setelah sholat Jumat selesai
gunungan apem siap untuk dibawa ke sendang Klampeyan diiringi pemeran tokoh Ki
Ageng Gribig, istrinya, para sahabat dan muri-muridnya. Di sendang Klampeyan
lah tempat penyebaran apem dilaksanakan setelah dido’akan. Lokasi sendang
Klampeyan adalah di bawah pekarangan Masjid Besar Jatinom, dekat dengan sungai
kecil. Apem disebar dari menara kandang apem. Ada pula acara-acara yang
menyertai upacara Saparan ini antara lain acara ziarah ke makam Ki Ageng Gribig
pada malam setelah pemotongan tumpeng, acara pembacaan Al-Qur’an dan tahlil
pada malam sebelum penyebaran apem, dan yang tidak dilupakan adalah acara untuk
membersihkan lingkungan makam dan daerah kampung, dilaksanakan 7 hari sebelum
penyebaran apem. Apem merupakan perlengkapan inti pada upacara Saparan
“Yaqowiyyu” di Jatinom. Pada mulanya apem tidak dibentuk seperti saat ini. Pada
masa Ki Ageng Gribig apem hanya dibagikan seperti biasa. Namun seiring
berkembangnya zaman dan waktu apem ditempatkan pada panjang ilang yang terbuat
dari janur (daun pohon kelapa yang masih muda) dan pada jodang yaitu tempat
makanan yang terbuat dari kayu dan diukir. Pada saat ini jodang yang dulunya
digunakan untuk tempat apem sekarang digunakan untuk kenduri yang dilaksanakan
oleh mayarakat. Saat ini apem diletakkan pada tandu. Penggunaan panjang ilang
tidak berhenti, namun dibuat lebih kecil sebagai pengantar dua gunungan apem
menuju sendang Klampeyan. Kedua gunungan apem desemayamkan di pendopo utara
Masjid Besar, sedangkan apem yang ditaruh di dalam panjang ilang disemayamkan
di makam Ki Ageng Gribig. Apem dibentuk menyerupai gunung sehingga disebut
gunungan. Ada dua gunungan yang biasa disebut sebagai gunungan lanang dan
gunungan wadon. Hal ini menyimbolkan Ki Ageng Gribing dan Nyi Ageng Gribig.
Apem juga pernah berbentuk singa betina yang disebut Nyau Kopek dan ular betina
yang disebut Nyai Kasur. Konon keduanya adalah binatang kesayangan Ki Ageng
Gribig. Bentuk-bentuk apem yang terus berkembang ini hanya untuk menembah
semarak dan meriahnya upacara ini. Apem yang dulunya dibuat oleh istri Ki Ageng
Gribig, kini apem dibuat oleh masyarakat. Apem yang dibutuhkan sangat banyak
hingga mendapat kiriman dari berbagai daerah yang masih termasuk ahli waris
dari Ki Ageng Gribig. Apem dikirim dari berbagai daerah seperti Tumenggung,
Demak, Magelang, Pati, Yogyakarta dan Solo. Apem yang diperlukan pada upacara
Saparan ini mencapai sekitar 4,5 ton kue apem atau sekitar 38 ribu kue apem.
Penyusunan gunungan apem itu juga ada artinya, apem disusun menurun seperti
sate 4-2-4-4-3 maksudnya jumlah rakaat dalam shalat isya, subuh, zuhur, ashar
dan maghrib. Mereka (warga yang membawa apem tersebut) membawa pulang sepasang
kue apem sebagai oleh-oleh. Perlengkapan lainnya adalah pakaian adat Solo-Yogya
yang digunakan untuk memerankan tokoh Ki Ageng Gribig, Nyi Ageng Gribig dan
pager ayu yang terdiri dari para sahabat, dan murid-muridnya. Tidak semua orang
memakai pakaian itu, hanya orang-orang tertentu yang telah ditunjuk sebagai
pemeran yang memakainya. Adapula ingkung dan tumpeng yang melambangkan
persatuan dan kesatuan masyarakat Jatinom. Miniatur Masjid Alit yang dipercaya
sebagai dalem Ki Ageng Gribig dan sebagai tempat pertama kali Ki Ageng Gribig
menyebarkan agama Islam.
E. Pentingnya
Perayaan Upacara Saparan Bagi Masyarakat Jatinom
Upacara Saparan “Yaqowiyyu” sangat
penting bagi masyarakat Jatinom. Upacara ini bersifat sangat religius untuk
mengenang jasa Ki Ageng Gribig yang telah membangun desa Jatinom sekaligus
menyebarkan agama Islam disana. Upacara ini juga mempunyai nilai filosofi yang
tinggi yaitu ajaran agar kita saling memaafkan. Ajaran ini diambil dari kata
yang berasal dari Bahasa Arab “afwun” yang menjadi kata apem. Hal yang lebih
penting dari perayaan ini bagi masyarakat Jatinom adalah melestarikan dan
meluruskan sejarah yang sebenarnya. Sejarah mengenai Ki Ageng Gribig mempunyai
beberapa versi yang kemungkinan ada penyelewengan sejarah. Selain itu upacara
Saparan diadakan agar tradisi ini tetap berjalan turun-temurun lintas generasi,
sehingga tidak hilang ditelan perkembangan zaman. Upacara saparan “Yaqowiyyu”
merupakan tradisi atau adat kebiasaan yang berlaku sehingga masyarakat
mempunyai kepercayaan yang kuat dan tidak berani untuk meninggalkannya. Upacara
Saparan “Yaqowiyyu” juga dianggap membawa berkah bagi masyarakat. Tak heran
jika masyarakat memperebutkan apem yang disebarkan di sendang Klampeyan
tersebut. Alasan lain yang mendukung upacara ini tetap dilaksanakan yaitu
adanya dorongan dari pemerintah daerah Klaten, dianggap menguntungkan karena
akan lebih memperkenalkan kebudayaan Klaten di ranah Indonesia. Alasan-alasan
tersebut merupakan alasan warga tentang pentingnya perayaan upacara saparan
bagi masyarakat Jatinom.
F. Keyakinan-Keyakinan
/Kepercayaan Yang Melekat Pada Ritual Upacara Saparan
Upacara Saparan “Yaqowiyyu” adalah upacara yang berinti memberi do’a. Do’a awalnya dari Ki Ageng Gribig yang memohon kepada Allah agar memberikan kekuatan kepada santrinya dan kepada masyarakat. Do’a itu dilantunkan pada saat sebelum penyebaran apem dimulai. Kata “Yaqowiyyu” dalam do’a ini yang digunakan untuk menyebut acara ini. Upacara ini mempunyai dampak menyebarnya agama Islam di desa Jatinom. Berbeda dengan sudut religi dalam pandangan santri, nilai religi bagi masyarakat Kejawen adalah kekramatan tempat-tempat peninggalan atau petilasan Ki Ageng Gribig. Mereka percaya bahwa Ki Ageng Gribig sakti maka mereka bersemedi di makammnya atau di tempat peninggalannya dengan harapan dapat membawa berkah. Cara bersemedi dengan membakar kemenyan dan melantunkan do’a yang menjadi keinginannya serta menabur bunga di makam Ki ageng Gribig. Bagi masyarakat Kejawen adanya kepercayaan dan anggapan adanya berkah dari perebutan apem yang disebarkan merupakan nilai yang paling penting. Tak heran jika mereka merebut apem semampunya dan bahkan ada yang memungut bagian-bagian kecil dari apem yang disebarkan.
Upacara Saparan “Yaqowiyyu” adalah upacara yang berinti memberi do’a. Do’a awalnya dari Ki Ageng Gribig yang memohon kepada Allah agar memberikan kekuatan kepada santrinya dan kepada masyarakat. Do’a itu dilantunkan pada saat sebelum penyebaran apem dimulai. Kata “Yaqowiyyu” dalam do’a ini yang digunakan untuk menyebut acara ini. Upacara ini mempunyai dampak menyebarnya agama Islam di desa Jatinom. Berbeda dengan sudut religi dalam pandangan santri, nilai religi bagi masyarakat Kejawen adalah kekramatan tempat-tempat peninggalan atau petilasan Ki Ageng Gribig. Mereka percaya bahwa Ki Ageng Gribig sakti maka mereka bersemedi di makammnya atau di tempat peninggalannya dengan harapan dapat membawa berkah. Cara bersemedi dengan membakar kemenyan dan melantunkan do’a yang menjadi keinginannya serta menabur bunga di makam Ki ageng Gribig. Bagi masyarakat Kejawen adanya kepercayaan dan anggapan adanya berkah dari perebutan apem yang disebarkan merupakan nilai yang paling penting. Tak heran jika mereka merebut apem semampunya dan bahkan ada yang memungut bagian-bagian kecil dari apem yang disebarkan.
Mereka
mempunyai kepercayaan bahwa kue apem yang disebarkan dan dilantunkan do’a
sebelum penyebarannya pasti bertuah. Mereka datang dengan tujuan tertentu saat
akan merebut kue apem, tujuan mereka misalnya:
a. Para
petani merebut kue apem dengan tujuan akan dijadikan tumbal pada sawah ladang
mereka agar sawah ladang mereka subur dan jauh dari gangguan hama.
b. Apem
digunakan sebagai penjaga rumah. Warga melakukannya dengan cara menggantungkan
kue apem tersebut pada pintu rumah. Hal ini dilakukan agar terhindar dari
perbuatan jahat.
c. Pedagang
menggunakan apem sebagai pelaris dan agar terhindar dari kerugian.
d. Pelajar
yang masih mempercayai adanya hal bertuah menggunakan apem sebagai pelancar
dalam belajar.
Masyarakat yang mendapat banyak apem pada saat
perebutan biasanya akan mengadakan pertunjukan wayang kulit atau pertunjukan
lainnya, sehingga menambah keramaian kota. Sapar termasuk salah satu bulan yang
dirayakan oleh umat Islam di Indonesia. Al-Qur’an memang tidak mengharuskan
umatnya untuk merayakan bulan itu, namun orang-orang Indonesia melaksanakan
upacara peringatan agama merupakan unsur ungkapan terima kasih atau rasa
syukur. Hal ini juga merupakan tujuan dari upacara Saparan “Yaqowiyyu”.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Berdasarkan
pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa,
1.
Saparan merupakan upacara ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa pada
umumnya dan masyarakat Jatinom khususnya. Upacara Saparan di desa Jatinom
terkenal dengan nama Yaqowiyyu.
2.
Menurut Pengelola dan Pelestari Peninggalan Kyai Ageng Gribig (P3KAG) Jatinom,
Klaten, Saparan merupakan ritual tahunan yang diperingati untuk melestarikan
budaya turun-temurun dari leluhurnya yaitu Ki Ageng Gribig.
3.
Sejarah/asal mula munculnya saparan yaitu dimulai ketika Ki Ageng Gribig pulang
dari Mekah membawa oleh-oleh berupa kue apem. Sayangnya saat akan dibagikan
kepada penduduk, jumlahnya tak memadai, bersama sang istri iapun membuat kue
sejenis. Kue-kue inilah yang kemudian disebarkan kepada penduduk setempat yang
berebutan mendapatkannya sambil menyebarkan kue-kue ini iapun meneriakkan kata
“yaqowiyu” yang artinya “Tuhan berilah kekuatan”.
4.
Upacara saparan “Yaqowiyyu” merupakan tradisi atau adat kebiasaan yang berlaku
sehingga masyarakat mempunyai kepercayaan yang kuat dan tidak berani untuk
meninggalkannya. Upacara Saparan “Yaqowiyyu” juga dianggap membawa berkah bagi
masyarakat. Tak heran jika masyarakat memperebutkan apem yang disebarkan di
sendang Klampeyan.
B.
Saran
Saran-saran
yang dapat disampaikan peneliti antara lain:
1.
Upacara Saparan “Yaqowiyyu” hendaknya terus dilestarikan dan dikembangkan agar
tidak luntur dan mati, akibatnya generasi penerus kita tidak akan mengenal
upacara Saparan “Yaqowiyyu”.
2.
Dinas Pariwisata Kabupaten Klaten hendaknya lebih memperhatikan lagi perbaikan
sarana dan prasarana untuk melangsungkan Upacara Saparan “Yaqowiyyu”, agar para
pengiunjung nyaman dalam mengikuti acara ini.
3.
Keberhasilan Upacara Saparan “Yaqowiyyu” serta kebudayaan lain yang ada di
Jatinom hendaknya agar dapat dilestarikan dan difungsikan sebagai obyek wisata.
0 komentar:
Posting Komentar